Selasa, 09 April 2013

Hai, are you missing me?

Oups! Sangat lama tidak melirik, mengusap, dan memeluk blog ini. Maafkan saya untuk ketidak-konsisten-an dalam menulis disini. Justifikasi untuk kelakuan saya ini adalah beberapa bulan terakhir ini saya kehilangan mood untuk menulis di blog, kesibukan adaptasi yang lumayan menguras energi dan waktu, kebaikan hati dosen dalam memberikan tugas kuliah yang berhasil menghilangkan nafsu menulis non-akademik, dan yang paling mendukung kealpaanku di blog adalah my responsibility atas beberapa proyek baik di kampus ataupun di rumah. Maaf lagi saya terlalu banyak alasan.
Sekarang saya ingin mereview secara singkat beberapa hal yang terjadi di bulan-bulan lalu yang tidak sempat saya ceritakan secara detail dalam blog ini. Terlalu kadaluwarsa kalau detail-detail. Dan postingan ini hanyalah sebuah pengantar dari posting-posting selanjutnya yang akan segera rilis dengan lebih ciamik!


Buddy-System
Ini adalah salah satu program kerja dari Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Korps Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada sebagai pengganti keberadaan Dosen Pembimbing Akademik. (fyi, hanya jurusan Ilmu Hubungan Internasional yang tidak memiliki Dosen PA). Dalam sistem ini, sekitar 7-9 mahasiswa baru menjadi satu kelompok dan didampingi oleh dua kakak buddy serta satu observer. Tugas dua kakak buddy adalah membantu segala hal yang berhubungan dengan akademik ataupun non-akademik selama itu relevan dengan kehidupan di HI. Sedangkan kakak observer adalah mengawasi kinerja kakak buddy, tapi pada kenyataannya, akhirnya fungsinya tidak jauh berbeda dari kakak buddy.
Dalam buddy system ini, saya masuk grup sebelas, awalnya grup tiga, namun entah dengan latar belakang apa saya dimutasi. Komposisi buddy sebelas sendiri terdiri dari saya, Neisha Prabandari, Sally Hannah, Aisha Sabila, Japrenata, Panggih Prabowo, Alam Perdana, dan Freydo Hidzkia dengan kakak buddy Dimas Valdy, Sriwiyata Ismail, serta kakak observer Ikhwan Hastanto.
Jujur, awal bertemu mereka saya underestimate *maklum waktu itu masih polos dengan pandangan kalau anak semua HI bermuka kaum proletar, kecuali saya*. Mungkin nanti akan saya ceritakan detailnya di sesi khusus personal personil buddy sebelas. Semoga post tersebut bukanlah utopis.
Walaupun tidak dengan semua personal saya merasakan kedekatan emosi, setidaknya buddy sebelas melahirkan keluarga baru bagi saya. Banyak pelajaran hidup dan motivasi yang mereka berikan untuk saya. Keberadaan ketiga kakak yang superior dengan jalan-jalannya masing-masing membuat saya terpacu untuk bisa lebih dari sekedar mahasiswa. Kehadiran kawan-kawan buddy pun membantu saya keluar dari comfort zone dan mencoba pengalaman baru. Saya merasakan betul bagaimana pola pikir saya cukup terinfeksi dengan pemikiran-pemikiran mereka dan semua itu menambah wawasan saya.

Social Work
Nah ini, program perpanjangan tangannya sistem buddy. Sebuah kegiatan yang cukup banyak menguras emosi jiwa dan raga karena saya harus bertemu dan dipaksa bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda kelas dengan saya sehingga sangat mempengaruhi prespektif antara kami. Sehingga tidak dipungkiri banyak gesekan yang terjadi antara kami. Untung saja, tema SW kami -gabungan buddy sebelas dan duabelas- adalah Pendidikan sehingga tidak cukup sulit untuk memutuskan apa yang akan kami lakukan bagi masyarakat sekitar. Yap benar, proyek kami adalah mengajar di SDN 2 Kandangan. Gesekan yang saya sebutkan tadi lebih ketika proses menuju eksekusi, jadi walaupun terseok-seok, kami tetap mampu menyabet gelar Best SW. Mungkin karena tema kami sangat mendukung dan tidak membutuhkan banyak inovasi agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh subjek sasaran. Namun lebih dari itu semua, saya mendapat banyak nilai kehidupan dari SW. Kerja keras adalah satu dari sekian banyak nilai yang saya dapatkan.


HI UGM angkatan 2012
Ahhhh..begitu banyak intrik disana. Harus ada sesi khusus untuk menceritakan polah teman-teman HI 2012, apalagi kalau harus bercerita tentang Kula Nuwun Party. Sebuah pesta yang wajib diselenggarakan oleh kami -mahasiswa baru- untuk menjamu empat generasi HI diatas kami.
Secara general, di HI ini saya merasa "lumayan hina" dengan berbagai image yang teman-teman HI berikan untuk saya. Seriously, sebagian dari mereka menganggap saya adalah "ibu dari mereka" karena mereka menganggap sikap dan perilaku saya sangat keibuan. Oh God, saya sangat heran, dari sisi mana mereka melihat hal tersebut? Belum lagi panggilan "suketi" yang mulai populer kembali, gosip percintaan tentang saya yang cukup mengganggu (predikat jomblo kebelet nikah tapi setelah dilamar justru tidak mau, dipasangkan oleh teman seangkatan tapi senior), dan masih banyak lagi pencitraan yang sama sekali tidak saya harapkan.
Walaupun begitu, saya tetap menemukan kebahagiaan disana, setidaknya konstruktif teman-teman kepada saya membuktikan eksistensi saya. Bahwasannya, sebagai individu saya masih dianggap keberadaannya oleh mereka dan setidaknya pula saya masih bermanfaat bagi mereka, setidaknya untuk membuat mereka tertawa. Bukankah membuat orang lain bahagia adalah sebuah tindakan baik yang menghasilkan pahala?










takeline semester genap: lelah, lumayan hina, mbelgedhes

Kamis, 15 November 2012

no words again :)

tidak ada yang bisa saya tuliskan untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan sekarang, terlalu banyak hal-hal yang belum juga bisa saya realisasikan. Terlalu penuh hati dan pikiran ini. Saya perlu menguraikannya satu per satu. Fokus dan konsisten dengan apa yang telah saya rencanakan. Fighting! Mimpi ini bukan utopia! Yakinlah...

Selasa, 23 Oktober 2012

my life style

PERFECTIONIST, MOODY, ORGANIZED
NO ONE PERFECT, JUST DO THE BEST FOR EVERYTHING, YOUR EFFORT YOUR LIFE!

Tersengat!

Belum banyak perubahan yang terasa, namun setidaknya saya mulai merasakan sentuhan-sentuhan hangat semangat. Sedikit demi sedikit, saya mulai membangun kepercayaan diri. Dari hal-hal kecil saya berani mencoba dan menantang diri saya sendiri untuk melakukan hal-hal "gila". Ini menurut saya penting, tanpa keberanian untuk mencoba, saya hanya akan berhenti di titik ini. Dan itu terlalu gila untuk saya terima. Karena ini bukanlah suatu pencapaiannya yang patut dipertahankan. Akan ada banyak hal di depan sana yang telah menunggu kehadiran saya. Saya, mereka, takkan pernah tahu akan bagaimana akhirnya. Ketakutan hanya akan memperpuruk kondisi saya.
Cukup sekali saya menodai catatan hidup saya sendiri dengan tinta merah. kebodohan telah benar-benar membutakan saya. Begitu manjanya saya ketika tak mampu berdiri di kaki sendiri. Saya lupa kaku saya masih memiliki dua buah tangan. Bagaimana mozaik hidup ini belum seberapa kesakitannya. Takkan lagi saya pertaruhkan usaha yang saya bangun bertahun-tahun sia-sia, komitmen saya untuk selalu total juga tak mungkin saya relakan  berujung abu. Memang keyakinan pada Allah hanyalah satu-satunya pegangan saya untuk selalu berharap yang terbaik baik di depan atau di belakang semua yang berjalan bersama saya. Tetapi itu lebih dari cukup. Tak ada yang bisa diandalkan selain Allah, saya hanya bisa mempercayakan apapun pada Allah, Dia satu-satunya yang dapat dipercaya dan hanya Dia pulalah yang benar-benar bisa menepati janji.
Tak ada yang tak mungkin, tak ada yang tak berubah, bahkan walaupun itu tentang hati. Kesabaran dan kebesaran hati pasti juga akan merobohkan kekakuan jiwa. Jangan sekali-kali memvonis hati orang kepada diri sendiri, itu takkan pernah menjawab keeraguan. Justru semakin memperkeruh lautan perasaan yang tak terungkapkan. Berpikir positif terhadap diri saya sendiri dan orang lain layaknya harus saya tingkatkan, Tidak selamanya intuisi ini mengacu pada kebenarannya. Keseimbangan hati dan pikiran wajib untuk dilatih.
Kebahagiaan akan saya rasaka jika saya meniti tiap-tiap pijakan dengan mensyukurinya dan tanpa berfikir hal itu adalah sebuah kesalahan. Saya takkan pernah tahu itu benar, kalau saya tak mengetahui apa yang salah. Nikmati tiap prosesnya, proses terjatuh, tertatih, sakit, berdiri, meloncat, dan apapun proses itu.
Saatnya membuka mata, saya bukan pecundang yang tak memilki talenta, namun waktu saja yang belum mengizinkan orang lain menikmati talenta yang saya miliki. Tak boleh hanya menunggu, bukan lagi saatnya saat menunggu umpan, kini saatnya saya berpijak, meloncat, dan terbang.
Ini seperti sengatan lebah dan membuat saya berteriak sehingga menyadarkan diri ini terhadap beberapa hal yang luput. Sakit dan meninggalkan bekas luka memang sengatan itu namun justru itulah seninya. Sebuah seni saat semua tak berjalan seharusnya, semua berjalan secara acak, tak beraturan, dan tak berpola. Hanya bergantung pada kesejalanan hati, pikiran, dan indera. 

Jumat, 14 September 2012

Mengawali Perkuliahan

HUBUNGAN INTERNASIONAL-UNIVERSITAS GADJAH MADA

Suatu hal yang setahun terakhir ini sangat memenuhi kepala saya bahkan sampai sekarang saat saya telah menjadi bagiannya. Perasaan yang benar-benar absurd menurut saya.
Saya tidak tahu mengapa saya tiba-tiba kehilangan passion saya di awal karir perkuliahan ini, entah bagaimana bisa. Mungkin karena saya belum mendapat sesuatu yang benar-benar menarik setelah masuk di dalamnya. Lingkungan sosial yang baru dan jauh berbeda memberikan efek yang lumayan pada kelabilan ini. Kini saya sedang mencoba menikmati tiap waktu dan kesempatan yang telah dianugerahkan Allah pada saya. Ini pilihan saya, saya harus mempertanggungjawabkannya, tidak hanya pada Allah tapi juga orang tua saya. Jadi tidak ada pilihan selain menjalani dan memberikan apa pun yang terbaik dari diri saya.
Yah, setidaknya, dua minggu di kampus saya telah berhasil menemukan beberapa orang yang bisa saya ajak diskusi serta cukup senasib-sepenanggungan. Selain itu, saya juga berhasil menemukan kakak tingkat yang cukup kece, pintar, dan menyenangkan. Walau hanya bisa untuk sekedar sedap dipandang, tapi itu benar-benar menjadi kegembiraan tersendiri. Hehe. Itu semua cukup lah untuk menghibur diri dari segala dampak culture shock yang saya temui di HI ini.


ps.berharap suatu saat bisa menjalin hubungan dengan pribadi yang menyenangkan, rame, tapi tetep pinter dan tentu saja kece seperti mas-masnya itu. :)

Rabu, 04 Juli 2012

wait and see.....

saya tidak tahu apakah saya sudah maksimal dalam berusaha
saya tidak tahu apakah saya telah memberikan yang terbaik dari diri saya
hanya satu yang saya tahu yaitu, saya telah melakukan apa yang saya rasa cukup untuk dilakukan
kata cukup itu apakah cukup akan membawa saya kesana
saya juga tidak tahu
wait and see...

bulan-bulan terakhir ini
saya merasakan banyak sekali hal-hal yang saya lakukan itu belum tepat
banyak hal di luar rencana saya
banyak hal di luar dugaaan saya
rasa-rasanya belum ada yang berjalan sebagaimana mestinya, versi saya sendiri,
entah versi Tuhan, saya belum mampu mencerna maksud Tuhan untuk saya
pikiran saya benar-benar dipenuhi hal-hal yang membuat saya khawatir
dipenuhin hal-hal yang seharusnya tidak saya pikirkan dulu
hanya sebuah keyakinan bahwa saat itu tiba semua akan lebih baik
apakah keyakinan mampu mendorong saya melewati itu
saya juga tidak yakin
wait and see...

baiklah saya hanya akan membiarkan tangan Tuhan yang bekerja, setidaknya untuk saat ini, membiarkan jiwa dan raga saya beristirahat sejenak tanpa mengkhawatirkan hal-hal di masa datang

Sabtu, 30 Juni 2012

RESENSIKU *first publish"


Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Judul                             :  Kau, Aku, dan Sepucuk  Angpau Merah
Pengarang                     :  Tere Liye
Cetakan                         :  3, 2012
Design dan Ilustrasi      :  eMTe
Tebal                             :  512 Halaman, 20 cm
Penerbit                         :  Gramedia Pustaka Utama
ISBN                            :  978-979-22-7913-9


Cinta Sepucuk Angpau Merah di atas Sepit
Oleh : Tere Liye

Jujur saja, ini adalah novel pertama yang saya beli dari uang yang keluar dari dompet saya sendiri. Biasanya kalau tidak meminjam ya dibelikan oleh orang lain untuk memenuhi dahaga saya membaca novel. Alasan saya untuk membeli novel ini awalnya karena saya tertarik ingin mengikuti lomba resensi yang diadakan oleh Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan penulis kawakan Tere Liye.
Dengan sampul yang didominasi warna jingga membuat novel ini semakin terlihat feminim dan melankolis. Yang menarik, ketika saya melihat bagian belakang dan ternyata tidak sepatah kata pun sinopsis tentang kisah dibalik novel ini muncul, membuat keingintahuan saya melonjak.
Rasa penasaran semakin membuncah kala dengan seksama saya memperhatikan detail sampul novel ini. Sebenarnya cerita seperti apa yang diusung oleh sang pengarang dengan menampilkan sosok gadis berpayung yang sedang berdiri di tepian dermaga kecil –terlihat dari adanya beberapa perahu sederhana di tepi sungai. Dan yang membuat saya semakin tertarik adalah rupa sayu sang gadis. Apakah ini cerita roman dramatis yang penuh tragedi? Tidak. Memang tidak sepenuhnya seperti itu. Semua di luar dugaan.
Sungguh, 3 hari saya menyelesaikan novel ini, saya merasa sangat tidak rugi memberikan kesempatan Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah menjadi novel pertama yang saya beli sendiri. Emosi yang dibawa oleh novel karya asli Tere Liye ini mampu membuat saya tertawa terbahak, tersenyum, khawatir, termenung, berkaca-kaca hingga menitikkan air mata silih berganti. Untaian kata-kata dalam setiap kalimatnya selalu mengandung makna.
Walaupun tema cerita yang diangkat bukan tema cinta metropop seperti kebanyakan novel, novel ini sama sekali tidak membosankan. Justru sebaliknya, ini merupakan tema yang ringan dan menarik karena dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Kearifan lokal penduduk Pontianak kelas menengah bawah seperti keseharian para pengemudi sepit dan penduduk sekitar sungai, perselisihan antarpengemudi akibat aturan dan konflik personal, serta gotong royong diantara mereka menjadi daya tarik tersendiri. Pengarang secara konsekuen menggunakan sudut pandang orang pertama. Dan plot beralur maju yang dibawakannya pun terangkai apik membuat kita semakin mudah memahami alur cerita.
Sederhana dan tidak dibuat-buat, itulah kalimat yang sedikitnya mampu menggambarkan keseluruhan cerita romantis berlatar Sungai Kapuas ini. Borno, bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas adalah nahkoda dalam kisah cinta klasik ini. Dalam kisah ini, Borno ditemani oleh seorang tokoh panutan. Adalah Pak Tua menjadi orang yang selalu Borno tuju kala ia dirundung keragu-raguan. Tokoh Pak Tua sendiri membuat saya betah karena tersihir dengan segala pengetahuan dan petuahnya.
Borno memang beruntung, dia diasuh oleh orang tua yang sangat mulia dan dikelilingi orang-orang yang baik pula. Namun, saat dirinya baru menginjak tahun ke dua belas dalam hidupnya, ia harus merelakan bapak yang paling dia cintai untuk pergi selama-lamanya. Sebelum helaian nafas terakhir beliau berhembus, beliau dengan berbesar hati menyetujui pendonoran jantungnya untuk seorang pasien di RSUD Pontianak. Namun, kejadian yang paling memilukan itulah yang justru menjadi hulu dan hilir kisah cinta Borno.
Waktu berlalu, Borno tumbuh menjadi pemuda mandiri. Selepas dari bangku SMA, ia mencoba mencari pekerjaan. Ia sadar, ekonomi keluarganya tidak akan memungkinkan dirinya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Mulai dari menjadi seorang buruh di pabrik karet yang bau sampai menjadi penjaga palang masuk kapal feri. Takdir dan nasib memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Semenjak menjadi pemeriksa karcis di pelampung –sebutan orang tepian Kapuas untuk kapal Feri—, membuat hidup Borno yang sudah rumit –terutama urusan pekerjaan— menjadi semakin runyam. Hingga akhirnya, dengan berat hati Borno menerima pekerjaan yang paling dia hindari dalam hidupnya namun tetap dijalaninya dengan hati ikhlas dan bersungguh-sungguh. Ya, menjadi pengemudi sepit –perahu khas sungai Kapuas.
Hari-hari menjadi pengemudi sepit tenyata tidaklah buruk. Seminggu menjalani perploncoan dari Bang Togar sang ketua PPSKT (Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta) untuk pertama kalinya Borno mengemudikan sepit berpenumpang  –tanpa ditemani Pak Tua. Untuk pertama kalinya pula hatinya merasakan suatu perasaan yang asing pada seorang gadis peranakan cina yang tetap duduk di atas sepitnya walupun penumpang yang lain turun dari sepit karena takut terjungkal ke dalam sungai kapuas di penampilan perdananya mengemudikan sepit.
Surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama yang ditemukan oleh petugas timer di atas sepit tua milik Pak Tua membuat Borno –pengemudi sepit Pak Tua hari itu—penasaran setengah mati. Pemuda ini berpikiran kalau surat ini adalah surat penting yang mungkin terjatuh dari salah seorang penumpangnya. Asumsinya saat itu, surat itu mempunyai kans terbesar untuk dimiliki gadis cina berbaju kurung kuning. Segala usaha dilakukan Borno untuk dapat menemui si gadis. Namun kenyataan lain berbicara saat Borno melihat pengemudi sepit lain membawa surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama yang sama dengan surat yang dia miliki. Dan semakin menohok saja, kala si gadis menegurnya, “Abang Borno, mau angpau? Oh, Abang Borno sudah dapat?”.
Menerima kenyataan pahit bahwa ternyata surat yang dia kira spesial ternyata hanya lah sepucuk angpau beramplop merah tetap tidak menyurutkan “obsesi’ Borno. Hanya untuk sekedar bisa berlama-lama menatap si gadis sendu menawan, Borno berusaha untuk selalu mendapat antrean sepit nomor tiga belas agar sepitnya tepat dinaiki si gadis yang biasa datang ke dermaga pukul 7.15. Sehari lima belas menit, itulah durasi pertemuan Borno dengan Mei, nama gadis yang berhasil membuat Borno kerap bertingkah bodoh.
Tak butuh waktu lama rutinitas itu berlangsung, Mei pergi. Tak lama datang kembali, kemudian pergi lagi dan selalu tanpa penjelasan. Ditambah lagi ketidaksukaan Papa Mei terhadap Borno membuat hidup Borno jungkir balik. Borno kehilangan separuh jiwanya yang ikut pergi bersama Mei ke Surabaya.
Cinta sejati selalu menemukan jalan. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baik, mungkin kebetulan yang menakjubkan”. (194)
Bagaimana pun usahanya untuk mengejar ataupun melupakan Mei, yang terjadi tak pernah sesuai perkiraannya. Tuhan memang sutradara terbaik. Membiarkan cintanya mengalir layaknya aliran Sungai Kapuas yang akan terus deras mengalir atau kah kering menguap mungkin adalah langkah terbaik. Borno pun bertekad melupakan dalilnya sendiri untuk menjauhi Mei mengingat perbedaan di antara mereka.
Layaknya lautan, cerita cinta mereka juga mengalami pasang-surut. Puncaknya, di suatu sore dengan tiba-tiba dan tanpa alasan yang jelas, Mei meminta agar mereka tidak usah bertemu lagi. Sejak hari itu Mei tanpa kabar. Hal itu membuat Borno frustasi. Berbagai upaya dia lakukan untuk mendapat penjelasan, namun Mei hanya diam. Borno yang terus mendesak meminta penjelasan dari Mei, membuat Mei tak sanggup lagi menghindari Borno, Mei pun meninggalkan Pontianak terbang ke Surabaya dan berharap waktu bisa membuat segalanya jelas.
Setahun semenjak kepergian Mei, Borno dengan bersusah payah untuk dapat beraktivitas seperti biasa. Tetap menjadi bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas. Hingga suatu ketika, bibi penjaga rumah keluarga Mei di Pontianak menemui Borno dan menjadi awal titik terang dari segala keburaman yang terjadi. Baru diketahui Borno, bahwa surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama dahulu bukanlah angpau melainkan memang sebuah surat untuknya yang sengaja dijatuhkan Mei untuknya. Selesai membaca surat itu, teranglah segalanya.
Tahukah kalian, ini adalah sebuah kisah cinta yang tak pernah kita sangka bagaimana alirannya.  Apapun yang terjadi di masa lalu, Borno tak peduli. Masa lalu biarlah berlalu, bukannya tak peduli apa itu “jasmerah”, tapi bagi Borno tak kan ada yang mampu mengubah perasaan pada Mei, dia akan tetap mencintai gadis itu.
Novel ini patut dibaca oleh remaja, khususnya bagi mereka yang sering terbuai dengan janji manis dalam cinta atau sedang patah hati sekalipun. Cinta sejati tak kan pernah mudah. Kisah ini mengajarkan pada kita bahwa cinta tak perlu buaian dan bualan. Akan tetapi cinta itu adalah tindakan. Tak hanya remaja, seorang dewasa pun perlu mengetahui kisah ini. Agar mereka mengingat kembali bagaimana perjuangan mereka hingga bersama orang yang mereka cintai seperti saat ini. Dari kisah ini kita belajar untuk lebih menghargai rasa terindah dan tertinggi yang ditiupkan Tuhan untuk setiap insan di dunia yaitu, cinta.
Pengarang berhasil memperlihatkan bahwa cinta tak akan pernah memperdulikan masa lalu, sekarang, ataupun masa yang akan datang. Cinta hanya peduli pada dirimu yang jujur kapan pun itu. Namun pengarang tidak melulu berkutat dengan romansa cinta, bagaimana hubungan dengan keluarga, sahabat, dan guru, bahkan orang yang belum dikenal pun ditampilkan. Banyak teladan di dalamnya.
Novel ini terlihat sangat penuh dengan adanya beberapa kisah minor lainnya. Walaupun kisah itu mampu membumbui kisah utama dengan baik dan dapat dijadikan teladan, namun jadi terasa terlalu melebar dari plot. Tak adanya ilustrasi bentuk fisik tokoh utama, Borno, juga menjadi satu ketidaknyamanan tersendiri bagi pembaca karena rasa penasaran yang muncul bagaimana perawakan pemuda tangguh itu. Selebihnya, bagaimana pengarang memberikan porsi untuk tiap tokoh dan penokohannya itu sendiri sangat pas.
Dari novel ini, pengarang membuka mata saya, “Cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri”. (288)
Saya tersadar bahwa Tuhan selalu memiliki skenario cinta terindah untuk setiap insan. Tak perlu berpikiran yang macam-macam, jangan biarkan hati ini gulana. Berharaplah yang terbaik. Sungguh Tuhan lah yang menentukan akan berepisode pendek atau panjang, akan berakhir bahagia atau tragedi skenario cinta kita.
Pengarang yang lahir dan tumbuh di pedalaman Sumatera, tepatnya di Tandaraja, Palembang, 33 tahun lalu dalam menulis selalu menelurkan arti kerja keras, mungkin karena beliau lahir di lingkungan petani sehingga tulisannya tidak pernah jauh dari makna perjuanganan. Pengarang yang menuliskan asal-muasal nama “Pontianak” juga kekhasan budaya Pontianak membuat novel ini patut diacungi jempol. Karena kini tidak banyak novel yang mengangkat tradisi nusantara. Abang Darwis Tere Liye memang lihai menaik-turunkan mood pembaca dengan detail latar, setting, dan kalimat. Sebuah seni yang sarat pesan moral, ilmu, dan tips bermanfaat.

Sabtu, 19 Mei 2012

Hanya Aku

Takut menyakiti, sangat takut.
Namun, sekarang atau besok, akan tetap menyakiti.
Seribu kata maaf telah terucap.
Ini akan menjadi ke-seribu satu.
Pantaskah?

Rumit memang untuk menafsirkan.
Keyakinan tak ada mendesak kebimbangan.
Sulit untuk jujur, sulit pula untuk berkata tidak.
Diam.
Membiarkan itu terlihat benar.

Tak ingin ada harapan lagi.
Ini bukan lah hal yang baik.
Bukan sesuatu yang bisa dilanjutkan.
Biarkan lah menjadi kenangan.

Tidak sedang memilih.
Karena memang bukan pilihan.
Hanya menarik benang merah.
Mengetahui yang benar.
Menjalani yang semestinya.

Pergi atau bertahan?
Tidak penting saat ini.
Waktu yang akan menjawab.

Kini bukan kamu bukan juga dia.
Hanya aku.

Sabtu, 21 April 2012

New Session

Subhanallah, subhanallah, subhanallah . . . Setelah tiga bulan berjuang melawan segala rasa lelah dan jenuh kini semua terasa lebih ringan. Memang aku belum tahu hasilnya seperti apa, yang terpenting aku sudah berusaha yang terbaik dari diriku untuk itu. Dan apapun hasilnya aku akan tetap bersyukur sama Allah dan senantiasa berkhusnudzon dengan segala apa yang akan terjadi. Sungguh luar biasa kuasa-Nya. Tiga bulan ini aku diberikan pelajaran hidup yang luar biasa. Sebuah hal yang tidak terduga yang kemudian kejadian-kejadian itu membuat,
Aku jadi mengerti apa itu perjuangan . . .
Apa itu pengorbanan . . .
Dan apa itu mimpi . . .

Belum banyak asam-garam kehidupan yang aku rasakan, tapi setidaknya aku mulai mengerti bagaimana menghargai hidupku sendiri. Menghargai apa yang telah dianugerahkan Allah untukku. Karena disadari atau tidak, diluar sana ada banyak orang yang ingin ada di posisiku saat ini.
Tahun ini merupakan langkah awal dari kehidupanku yang sesungguhnya. Apa yang aku perjuangan saat ini akan menentukan arah kelanjutan di hidupku. Jadi aku harus berbuat yang terbaik bukan untuk setiap detail yang ada?
Sekarang atau besok pasti akan selalu ada tantangan, akan selalu ada hal-hal yang mengujiku. Setiap fase yang ada itu pasti punya tingkat kesulitan masing-masing. Tapi entah kenapa, aku sangat lega setelah melewati fase yang satu ini. Ya, aku legaaaaaaaaaaaa banget Ujian Nasional sudah berakhir. itu adalah kelegaan yang paling "exited" buat aku :)

Kalau ingat bagaimana aku merasa sangat tertekan karena Ujian Nasional, aku hanya bisa tersenyum sendiri. Start yang tidak cukup baik dan perubahan peraturan perihal SNMPTN undangan sempat membuatku jatuh. Kemudian aku disadarkan pula dengan sebuah kenyataan pahit bahwa aku tidak cukup berhasil menguasai mata pelajaran IPA dan itu  semakin membuatku tertekan.
Aku berusaha tenang menghadapi semua itu, aku tidak ingin membuat orang lain apalagi orang tuaku khawatir. Namun, ternyata Allah mempunyai rencana lain. Nilai pra-UN pertamaku jauh di luar dugaan. Malu, sedih, bingung, tertekan campur aduk jadi satu. Saat itu aku benar-benar merasa ada di bawah. Aku merasakan apa itu “cobaan hidup”. Tapi itulah bukti kasih sayang Allah padaku. Allah ingin membentukku jadi pribadi yang jauh lebih bersyukur dan mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan. Secara tidak langsung hal itu telah menuntunku untuk menyadari hal-hal yang telah aku sia-siakan 1,5 tahun belakangan ini yang harus segera aku perbaiki.
Diibaratkan orang yang sedang berjalan, saat itu ibarat aku sedang berjalan tertatih karena luka di kakiku. Berusaha menguatkan diri sendiri dan terus berusaha berjalan tegap kembali cukup membutuhkan  ekstra tenaga. Air mata pun terkadang tak bisa ku bendung hingga suatu saat aku biarkan juga seseorang menyeka air mata ini.
Tanpa dia mungkin aku akan lebih lama terjebak dalam “keputusasaanku” sendiri. Setidaknya kehadirannya membuatku lebih berarti pada saat aku terpuruk. Dia menjadi salah satu alasanku untuk tetap bertahan dan berjuang.

Merenungkan sesaat persiapan yang aku lakukan untuk menghadapi UN, aku mengetahui bahwa perjuanganku belum ada apa-apanya dibandingkan orang lain. Yah, tapi setidak-tidaknya aku telah berjuang dengan sangat keras -ukuran dan penilaianku sendiri- untuk menjamah segala tetek bengek UN. Kemudian aku jadi mengerti kenapa banyak kakak-kakakku “histeris” saat mengetahui bahwa mereka baru saja "sekedar" lulus UN.

Tapi sudah lah, itu semua sudah berlalu. Aku telah melewati salah satu fase pendewasaan diriku. Ternyata aku mampu melewati itu dengan lumayan baik –menurutku-. Sebuah pelajaran paling berharga yang aku dapat dari secuil pengalaman hidupku yang lalu, jujurlah pada dirimu sendiri, bagaimana pun keadaannya. Itulah yang paling penting, karena kamu akan mengetahui sebenar-benarnya kemampuan dan potensimu. Jangan sekali-kali kau kalah dengan ego dan gengsimu sendiri.

Big thanks untuk teman-temanku yang luar biasa. Kalian tidak henti-hentinya support aku dengan cara kalian masing-masing. Itu luar biasa.


Sekarang saatnya menatap ke depan! Bersiap untuk jadi pribadi yang luar biasa kawan!!!




 ps. posting pertama di tahun 2012 tepat hari Kartini. I think that's great enough, 210412.