Sabtu, 30 Juni 2012

RESENSIKU *first publish"


Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Judul                             :  Kau, Aku, dan Sepucuk  Angpau Merah
Pengarang                     :  Tere Liye
Cetakan                         :  3, 2012
Design dan Ilustrasi      :  eMTe
Tebal                             :  512 Halaman, 20 cm
Penerbit                         :  Gramedia Pustaka Utama
ISBN                            :  978-979-22-7913-9


Cinta Sepucuk Angpau Merah di atas Sepit
Oleh : Tere Liye

Jujur saja, ini adalah novel pertama yang saya beli dari uang yang keluar dari dompet saya sendiri. Biasanya kalau tidak meminjam ya dibelikan oleh orang lain untuk memenuhi dahaga saya membaca novel. Alasan saya untuk membeli novel ini awalnya karena saya tertarik ingin mengikuti lomba resensi yang diadakan oleh Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan penulis kawakan Tere Liye.
Dengan sampul yang didominasi warna jingga membuat novel ini semakin terlihat feminim dan melankolis. Yang menarik, ketika saya melihat bagian belakang dan ternyata tidak sepatah kata pun sinopsis tentang kisah dibalik novel ini muncul, membuat keingintahuan saya melonjak.
Rasa penasaran semakin membuncah kala dengan seksama saya memperhatikan detail sampul novel ini. Sebenarnya cerita seperti apa yang diusung oleh sang pengarang dengan menampilkan sosok gadis berpayung yang sedang berdiri di tepian dermaga kecil –terlihat dari adanya beberapa perahu sederhana di tepi sungai. Dan yang membuat saya semakin tertarik adalah rupa sayu sang gadis. Apakah ini cerita roman dramatis yang penuh tragedi? Tidak. Memang tidak sepenuhnya seperti itu. Semua di luar dugaan.
Sungguh, 3 hari saya menyelesaikan novel ini, saya merasa sangat tidak rugi memberikan kesempatan Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah menjadi novel pertama yang saya beli sendiri. Emosi yang dibawa oleh novel karya asli Tere Liye ini mampu membuat saya tertawa terbahak, tersenyum, khawatir, termenung, berkaca-kaca hingga menitikkan air mata silih berganti. Untaian kata-kata dalam setiap kalimatnya selalu mengandung makna.
Walaupun tema cerita yang diangkat bukan tema cinta metropop seperti kebanyakan novel, novel ini sama sekali tidak membosankan. Justru sebaliknya, ini merupakan tema yang ringan dan menarik karena dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Kearifan lokal penduduk Pontianak kelas menengah bawah seperti keseharian para pengemudi sepit dan penduduk sekitar sungai, perselisihan antarpengemudi akibat aturan dan konflik personal, serta gotong royong diantara mereka menjadi daya tarik tersendiri. Pengarang secara konsekuen menggunakan sudut pandang orang pertama. Dan plot beralur maju yang dibawakannya pun terangkai apik membuat kita semakin mudah memahami alur cerita.
Sederhana dan tidak dibuat-buat, itulah kalimat yang sedikitnya mampu menggambarkan keseluruhan cerita romantis berlatar Sungai Kapuas ini. Borno, bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas adalah nahkoda dalam kisah cinta klasik ini. Dalam kisah ini, Borno ditemani oleh seorang tokoh panutan. Adalah Pak Tua menjadi orang yang selalu Borno tuju kala ia dirundung keragu-raguan. Tokoh Pak Tua sendiri membuat saya betah karena tersihir dengan segala pengetahuan dan petuahnya.
Borno memang beruntung, dia diasuh oleh orang tua yang sangat mulia dan dikelilingi orang-orang yang baik pula. Namun, saat dirinya baru menginjak tahun ke dua belas dalam hidupnya, ia harus merelakan bapak yang paling dia cintai untuk pergi selama-lamanya. Sebelum helaian nafas terakhir beliau berhembus, beliau dengan berbesar hati menyetujui pendonoran jantungnya untuk seorang pasien di RSUD Pontianak. Namun, kejadian yang paling memilukan itulah yang justru menjadi hulu dan hilir kisah cinta Borno.
Waktu berlalu, Borno tumbuh menjadi pemuda mandiri. Selepas dari bangku SMA, ia mencoba mencari pekerjaan. Ia sadar, ekonomi keluarganya tidak akan memungkinkan dirinya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Mulai dari menjadi seorang buruh di pabrik karet yang bau sampai menjadi penjaga palang masuk kapal feri. Takdir dan nasib memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Semenjak menjadi pemeriksa karcis di pelampung –sebutan orang tepian Kapuas untuk kapal Feri—, membuat hidup Borno yang sudah rumit –terutama urusan pekerjaan— menjadi semakin runyam. Hingga akhirnya, dengan berat hati Borno menerima pekerjaan yang paling dia hindari dalam hidupnya namun tetap dijalaninya dengan hati ikhlas dan bersungguh-sungguh. Ya, menjadi pengemudi sepit –perahu khas sungai Kapuas.
Hari-hari menjadi pengemudi sepit tenyata tidaklah buruk. Seminggu menjalani perploncoan dari Bang Togar sang ketua PPSKT (Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta) untuk pertama kalinya Borno mengemudikan sepit berpenumpang  –tanpa ditemani Pak Tua. Untuk pertama kalinya pula hatinya merasakan suatu perasaan yang asing pada seorang gadis peranakan cina yang tetap duduk di atas sepitnya walupun penumpang yang lain turun dari sepit karena takut terjungkal ke dalam sungai kapuas di penampilan perdananya mengemudikan sepit.
Surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama yang ditemukan oleh petugas timer di atas sepit tua milik Pak Tua membuat Borno –pengemudi sepit Pak Tua hari itu—penasaran setengah mati. Pemuda ini berpikiran kalau surat ini adalah surat penting yang mungkin terjatuh dari salah seorang penumpangnya. Asumsinya saat itu, surat itu mempunyai kans terbesar untuk dimiliki gadis cina berbaju kurung kuning. Segala usaha dilakukan Borno untuk dapat menemui si gadis. Namun kenyataan lain berbicara saat Borno melihat pengemudi sepit lain membawa surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama yang sama dengan surat yang dia miliki. Dan semakin menohok saja, kala si gadis menegurnya, “Abang Borno, mau angpau? Oh, Abang Borno sudah dapat?”.
Menerima kenyataan pahit bahwa ternyata surat yang dia kira spesial ternyata hanya lah sepucuk angpau beramplop merah tetap tidak menyurutkan “obsesi’ Borno. Hanya untuk sekedar bisa berlama-lama menatap si gadis sendu menawan, Borno berusaha untuk selalu mendapat antrean sepit nomor tiga belas agar sepitnya tepat dinaiki si gadis yang biasa datang ke dermaga pukul 7.15. Sehari lima belas menit, itulah durasi pertemuan Borno dengan Mei, nama gadis yang berhasil membuat Borno kerap bertingkah bodoh.
Tak butuh waktu lama rutinitas itu berlangsung, Mei pergi. Tak lama datang kembali, kemudian pergi lagi dan selalu tanpa penjelasan. Ditambah lagi ketidaksukaan Papa Mei terhadap Borno membuat hidup Borno jungkir balik. Borno kehilangan separuh jiwanya yang ikut pergi bersama Mei ke Surabaya.
Cinta sejati selalu menemukan jalan. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baik, mungkin kebetulan yang menakjubkan”. (194)
Bagaimana pun usahanya untuk mengejar ataupun melupakan Mei, yang terjadi tak pernah sesuai perkiraannya. Tuhan memang sutradara terbaik. Membiarkan cintanya mengalir layaknya aliran Sungai Kapuas yang akan terus deras mengalir atau kah kering menguap mungkin adalah langkah terbaik. Borno pun bertekad melupakan dalilnya sendiri untuk menjauhi Mei mengingat perbedaan di antara mereka.
Layaknya lautan, cerita cinta mereka juga mengalami pasang-surut. Puncaknya, di suatu sore dengan tiba-tiba dan tanpa alasan yang jelas, Mei meminta agar mereka tidak usah bertemu lagi. Sejak hari itu Mei tanpa kabar. Hal itu membuat Borno frustasi. Berbagai upaya dia lakukan untuk mendapat penjelasan, namun Mei hanya diam. Borno yang terus mendesak meminta penjelasan dari Mei, membuat Mei tak sanggup lagi menghindari Borno, Mei pun meninggalkan Pontianak terbang ke Surabaya dan berharap waktu bisa membuat segalanya jelas.
Setahun semenjak kepergian Mei, Borno dengan bersusah payah untuk dapat beraktivitas seperti biasa. Tetap menjadi bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas. Hingga suatu ketika, bibi penjaga rumah keluarga Mei di Pontianak menemui Borno dan menjadi awal titik terang dari segala keburaman yang terjadi. Baru diketahui Borno, bahwa surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama dahulu bukanlah angpau melainkan memang sebuah surat untuknya yang sengaja dijatuhkan Mei untuknya. Selesai membaca surat itu, teranglah segalanya.
Tahukah kalian, ini adalah sebuah kisah cinta yang tak pernah kita sangka bagaimana alirannya.  Apapun yang terjadi di masa lalu, Borno tak peduli. Masa lalu biarlah berlalu, bukannya tak peduli apa itu “jasmerah”, tapi bagi Borno tak kan ada yang mampu mengubah perasaan pada Mei, dia akan tetap mencintai gadis itu.
Novel ini patut dibaca oleh remaja, khususnya bagi mereka yang sering terbuai dengan janji manis dalam cinta atau sedang patah hati sekalipun. Cinta sejati tak kan pernah mudah. Kisah ini mengajarkan pada kita bahwa cinta tak perlu buaian dan bualan. Akan tetapi cinta itu adalah tindakan. Tak hanya remaja, seorang dewasa pun perlu mengetahui kisah ini. Agar mereka mengingat kembali bagaimana perjuangan mereka hingga bersama orang yang mereka cintai seperti saat ini. Dari kisah ini kita belajar untuk lebih menghargai rasa terindah dan tertinggi yang ditiupkan Tuhan untuk setiap insan di dunia yaitu, cinta.
Pengarang berhasil memperlihatkan bahwa cinta tak akan pernah memperdulikan masa lalu, sekarang, ataupun masa yang akan datang. Cinta hanya peduli pada dirimu yang jujur kapan pun itu. Namun pengarang tidak melulu berkutat dengan romansa cinta, bagaimana hubungan dengan keluarga, sahabat, dan guru, bahkan orang yang belum dikenal pun ditampilkan. Banyak teladan di dalamnya.
Novel ini terlihat sangat penuh dengan adanya beberapa kisah minor lainnya. Walaupun kisah itu mampu membumbui kisah utama dengan baik dan dapat dijadikan teladan, namun jadi terasa terlalu melebar dari plot. Tak adanya ilustrasi bentuk fisik tokoh utama, Borno, juga menjadi satu ketidaknyamanan tersendiri bagi pembaca karena rasa penasaran yang muncul bagaimana perawakan pemuda tangguh itu. Selebihnya, bagaimana pengarang memberikan porsi untuk tiap tokoh dan penokohannya itu sendiri sangat pas.
Dari novel ini, pengarang membuka mata saya, “Cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri”. (288)
Saya tersadar bahwa Tuhan selalu memiliki skenario cinta terindah untuk setiap insan. Tak perlu berpikiran yang macam-macam, jangan biarkan hati ini gulana. Berharaplah yang terbaik. Sungguh Tuhan lah yang menentukan akan berepisode pendek atau panjang, akan berakhir bahagia atau tragedi skenario cinta kita.
Pengarang yang lahir dan tumbuh di pedalaman Sumatera, tepatnya di Tandaraja, Palembang, 33 tahun lalu dalam menulis selalu menelurkan arti kerja keras, mungkin karena beliau lahir di lingkungan petani sehingga tulisannya tidak pernah jauh dari makna perjuanganan. Pengarang yang menuliskan asal-muasal nama “Pontianak” juga kekhasan budaya Pontianak membuat novel ini patut diacungi jempol. Karena kini tidak banyak novel yang mengangkat tradisi nusantara. Abang Darwis Tere Liye memang lihai menaik-turunkan mood pembaca dengan detail latar, setting, dan kalimat. Sebuah seni yang sarat pesan moral, ilmu, dan tips bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave a coment please :)