Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Judul : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Pengarang : Tere Liye
Cetakan : 3, 2012
Design dan Ilustrasi : eMTe
Tebal : 512 Halaman, 20 cm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-979-22-7913-9
Cinta
Sepucuk Angpau Merah di atas Sepit
Oleh
: Tere Liye
Jujur
saja, ini adalah novel pertama yang saya beli dari uang yang keluar dari dompet
saya sendiri. Biasanya kalau tidak meminjam ya dibelikan oleh orang lain untuk
memenuhi dahaga saya membaca novel. Alasan saya untuk membeli novel ini awalnya
karena saya tertarik ingin mengikuti lomba resensi yang diadakan oleh Gramedia
Pustaka Utama bekerja sama dengan penulis kawakan Tere Liye.
Dengan
sampul yang didominasi warna jingga membuat novel ini semakin terlihat feminim
dan melankolis. Yang menarik, ketika saya melihat bagian belakang dan ternyata
tidak sepatah kata pun sinopsis tentang kisah dibalik novel ini muncul, membuat
keingintahuan saya melonjak.
Rasa
penasaran semakin membuncah kala dengan seksama saya memperhatikan detail
sampul novel ini. Sebenarnya cerita seperti apa yang diusung oleh sang
pengarang dengan menampilkan sosok gadis berpayung yang sedang berdiri di
tepian dermaga kecil –terlihat dari adanya beberapa perahu sederhana di tepi
sungai. Dan yang membuat saya semakin tertarik adalah rupa sayu sang gadis.
Apakah ini cerita roman dramatis yang penuh tragedi? Tidak. Memang tidak
sepenuhnya seperti itu. Semua di luar dugaan.
Sungguh,
3 hari saya menyelesaikan novel ini, saya merasa sangat tidak rugi memberikan
kesempatan Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau
Merah menjadi novel pertama yang saya beli sendiri. Emosi yang dibawa oleh
novel karya asli Tere Liye ini mampu membuat saya tertawa terbahak, tersenyum,
khawatir, termenung, berkaca-kaca hingga menitikkan air mata silih berganti.
Untaian kata-kata dalam setiap kalimatnya selalu mengandung makna.
Walaupun
tema cerita yang diangkat bukan tema cinta metropop seperti kebanyakan novel,
novel ini sama sekali tidak membosankan. Justru sebaliknya, ini merupakan tema
yang ringan dan menarik karena dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Kearifan
lokal penduduk Pontianak kelas menengah bawah seperti keseharian para pengemudi
sepit dan penduduk sekitar sungai, perselisihan antarpengemudi akibat aturan
dan konflik personal, serta gotong royong diantara mereka menjadi daya tarik
tersendiri. Pengarang secara konsekuen menggunakan sudut pandang orang pertama.
Dan plot beralur maju yang dibawakannya pun terangkai apik membuat kita semakin
mudah memahami alur cerita.
Sederhana
dan tidak dibuat-buat, itulah kalimat yang sedikitnya mampu menggambarkan
keseluruhan cerita romantis berlatar Sungai Kapuas ini. Borno, bujang dengan
hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas adalah nahkoda dalam kisah cinta
klasik ini. Dalam kisah ini, Borno ditemani oleh seorang tokoh panutan. Adalah
Pak Tua menjadi orang yang selalu Borno tuju kala ia dirundung keragu-raguan.
Tokoh Pak Tua sendiri membuat saya betah karena tersihir dengan segala
pengetahuan dan petuahnya.
Borno
memang beruntung, dia diasuh oleh orang tua yang sangat mulia dan dikelilingi
orang-orang yang baik pula. Namun, saat dirinya baru menginjak tahun ke dua
belas dalam hidupnya, ia harus merelakan bapak yang paling dia cintai untuk
pergi selama-lamanya. Sebelum helaian nafas terakhir beliau berhembus, beliau
dengan berbesar hati menyetujui pendonoran jantungnya untuk seorang pasien di
RSUD Pontianak. Namun, kejadian yang paling memilukan itulah yang justru
menjadi hulu dan hilir kisah cinta Borno.
Waktu
berlalu, Borno tumbuh menjadi pemuda mandiri. Selepas dari bangku SMA, ia
mencoba mencari pekerjaan. Ia sadar, ekonomi keluarganya tidak akan
memungkinkan dirinya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Mulai dari menjadi
seorang buruh di pabrik karet yang bau sampai menjadi penjaga palang masuk
kapal feri. Takdir dan nasib memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Semenjak menjadi pemeriksa karcis di pelampung –sebutan orang tepian Kapuas
untuk kapal Feri—, membuat hidup Borno yang sudah rumit –terutama urusan
pekerjaan— menjadi semakin runyam. Hingga akhirnya, dengan berat hati Borno
menerima pekerjaan yang paling dia hindari dalam hidupnya namun tetap
dijalaninya dengan hati ikhlas dan bersungguh-sungguh. Ya, menjadi pengemudi
sepit –perahu khas sungai Kapuas.
Hari-hari
menjadi pengemudi sepit tenyata tidaklah buruk. Seminggu
menjalani perploncoan dari Bang Togar sang ketua PPSKT (Paguyuban Pengemudi
Sepit Kapuas Tercinta) untuk pertama kalinya Borno mengemudikan sepit
berpenumpang –tanpa ditemani Pak Tua.
Untuk pertama kalinya pula hatinya merasakan suatu perasaan yang asing pada
seorang gadis peranakan cina yang tetap duduk di atas sepitnya walupun
penumpang yang lain turun dari sepit karena takut terjungkal ke dalam sungai
kapuas di penampilan perdananya mengemudikan sepit.
Surat
bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama yang ditemukan oleh petugas timer di atas sepit tua milik Pak Tua
membuat Borno –pengemudi sepit Pak Tua hari itu—penasaran setengah mati. Pemuda
ini berpikiran kalau surat ini adalah surat penting yang mungkin terjatuh dari
salah seorang penumpangnya. Asumsinya saat itu, surat itu mempunyai kans
terbesar untuk dimiliki gadis cina berbaju kurung kuning. Segala usaha
dilakukan Borno untuk dapat menemui si gadis. Namun kenyataan lain berbicara
saat Borno melihat pengemudi sepit lain membawa surat bersampul merah, dilem
rapi, dan tanpa nama yang sama dengan surat yang dia miliki. Dan semakin
menohok saja, kala si gadis menegurnya, “Abang
Borno, mau angpau? Oh, Abang Borno sudah dapat?”.
Menerima
kenyataan pahit bahwa ternyata surat yang dia kira spesial ternyata hanya lah
sepucuk angpau beramplop merah tetap tidak menyurutkan “obsesi’ Borno. Hanya
untuk sekedar bisa berlama-lama menatap si gadis sendu menawan, Borno berusaha
untuk selalu mendapat antrean sepit nomor tiga belas agar sepitnya tepat
dinaiki si gadis yang biasa datang ke dermaga pukul 7.15. Sehari lima belas
menit, itulah durasi pertemuan Borno dengan Mei, nama gadis yang berhasil
membuat Borno kerap bertingkah bodoh.
Tak
butuh waktu lama rutinitas itu berlangsung, Mei pergi. Tak lama datang kembali,
kemudian pergi lagi dan selalu tanpa penjelasan. Ditambah lagi ketidaksukaan
Papa Mei terhadap Borno membuat hidup Borno jungkir balik. Borno kehilangan
separuh jiwanya yang ikut pergi bersama Mei ke Surabaya.
”Cinta sejati selalu menemukan jalan. Ada
saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tuhan sendiri yang akan
memberikan jalan baik, mungkin kebetulan yang menakjubkan”. (194)
Bagaimana
pun usahanya untuk mengejar ataupun melupakan Mei, yang terjadi tak pernah
sesuai perkiraannya. Tuhan memang sutradara terbaik. Membiarkan cintanya
mengalir layaknya aliran Sungai Kapuas yang akan terus deras mengalir atau kah
kering menguap mungkin adalah langkah terbaik. Borno pun bertekad melupakan
dalilnya sendiri untuk menjauhi Mei mengingat perbedaan di antara mereka.
Layaknya
lautan, cerita cinta mereka juga mengalami pasang-surut. Puncaknya, di suatu
sore dengan tiba-tiba dan tanpa alasan yang jelas, Mei meminta agar mereka
tidak usah bertemu lagi. Sejak hari itu Mei tanpa kabar. Hal itu membuat Borno
frustasi. Berbagai upaya dia lakukan untuk mendapat penjelasan, namun Mei hanya
diam. Borno yang terus mendesak meminta penjelasan dari Mei, membuat Mei tak
sanggup lagi menghindari Borno, Mei pun meninggalkan Pontianak terbang ke
Surabaya dan berharap waktu bisa membuat segalanya jelas.
Setahun
semenjak kepergian Mei, Borno dengan bersusah payah untuk dapat beraktivitas
seperti biasa. Tetap menjadi bujang dengan hati paling lurus di sepanjang
tepian Kapuas. Hingga suatu ketika, bibi penjaga rumah keluarga Mei di
Pontianak menemui Borno dan menjadi awal titik terang dari segala keburaman
yang terjadi. Baru diketahui Borno, bahwa surat bersampul merah, dilem rapi,
dan tanpa nama dahulu bukanlah angpau melainkan memang sebuah surat untuknya
yang sengaja dijatuhkan Mei untuknya. Selesai membaca surat itu, teranglah
segalanya.
Tahukah
kalian, ini adalah sebuah kisah cinta yang tak pernah kita sangka bagaimana
alirannya. Apapun yang terjadi di masa
lalu, Borno tak peduli. Masa lalu biarlah berlalu, bukannya tak peduli apa itu “jasmerah”, tapi bagi Borno tak kan ada
yang mampu mengubah perasaan pada Mei, dia akan tetap mencintai gadis itu.
Novel
ini patut dibaca oleh remaja, khususnya bagi mereka yang sering terbuai dengan
janji manis dalam cinta atau sedang patah hati sekalipun. Cinta sejati tak kan
pernah mudah. Kisah ini mengajarkan pada kita bahwa cinta tak perlu buaian dan
bualan. Akan tetapi cinta itu adalah tindakan. Tak hanya remaja, seorang dewasa
pun perlu mengetahui kisah ini. Agar mereka mengingat kembali bagaimana
perjuangan mereka hingga bersama orang yang mereka cintai seperti saat ini.
Dari kisah ini kita belajar untuk lebih menghargai rasa terindah dan tertinggi
yang ditiupkan Tuhan untuk setiap insan di dunia yaitu, cinta.
Pengarang
berhasil memperlihatkan bahwa cinta tak akan pernah memperdulikan masa lalu,
sekarang, ataupun masa yang akan datang. Cinta hanya peduli pada dirimu yang
jujur kapan pun itu. Namun pengarang tidak melulu berkutat dengan romansa cinta,
bagaimana hubungan dengan keluarga, sahabat, dan guru, bahkan orang yang belum
dikenal pun ditampilkan. Banyak teladan di dalamnya.
Novel
ini terlihat sangat penuh dengan adanya beberapa kisah minor lainnya. Walaupun kisah itu mampu membumbui kisah utama
dengan baik dan dapat dijadikan teladan, namun jadi terasa terlalu melebar dari
plot. Tak adanya ilustrasi bentuk fisik tokoh utama, Borno, juga menjadi satu
ketidaknyamanan tersendiri bagi pembaca karena rasa penasaran yang muncul
bagaimana perawakan pemuda tangguh itu. Selebihnya, bagaimana pengarang
memberikan porsi untuk tiap tokoh dan penokohannya itu sendiri sangat pas.
Dari
novel ini, pengarang membuka mata saya, “Cinta
selalu saja misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya
sendiri”. (288)
Saya
tersadar bahwa Tuhan selalu memiliki skenario cinta terindah untuk setiap
insan. Tak perlu berpikiran yang macam-macam, jangan biarkan hati ini gulana.
Berharaplah yang terbaik. Sungguh Tuhan lah yang menentukan akan berepisode
pendek atau panjang, akan berakhir bahagia atau tragedi skenario cinta kita.
Pengarang
yang lahir dan tumbuh di pedalaman Sumatera, tepatnya di Tandaraja, Palembang, 33
tahun lalu dalam menulis selalu menelurkan arti kerja keras, mungkin karena
beliau lahir di lingkungan petani sehingga tulisannya tidak pernah jauh dari
makna perjuanganan. Pengarang yang menuliskan asal-muasal nama “Pontianak” juga
kekhasan budaya Pontianak membuat novel ini patut diacungi jempol. Karena kini
tidak banyak novel yang mengangkat tradisi nusantara. Abang Darwis Tere Liye
memang lihai menaik-turunkan mood pembaca dengan detail latar, setting, dan
kalimat. Sebuah seni yang sarat pesan moral, ilmu, dan tips bermanfaat.